Setiap hubungan hukum yang terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat di Indonesia tidak luput dari suatu permasalahan atau sengketa baik yang dapat dinilai dalam skala kecil atau
bahkan skala besar. Hal ini pun terjadi dalam suatu perikatan jual – beli
satuan rumah susun. Pada dasarnya suatu perikatan terjadi karena adanya
perjanjian dan undang – undang. Khusus perikatan yang terjadi karena
perjanjian, harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), yaitu adanya kesepakatan
para pihak, kecakapan pihak yang membuatnya, hal tertentu yang diperjanjikan
dan sebab – sebab yang halal.
Perikatan
jual – beli satuan rumah susun dapat terjadi karena adanya peningkatan
permintaan konsumen/calon konsumen untuk membeli rumah susun yang belum selesai
dibangun oleh pengembang (developer), sehingga mengharuskan pemerintah untuk
mengatur hal tersebut secara khusus dalam Keputusan Menteri Perumahan Rakyat
Nomor 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual – Beli Satuan Rumah Susun (“Kepmenpera”).
Akibat hukum dari berlakunya Kepmenpera ini adalah setiap adanya perikatan jual
– beli satuan rumah susun wajib mengikuti pedoman dalam Kepmenpera tersebut.
Hal ini sebagaimana tertulis di ketentuan kedua dalam Kepmenpera.
Kepmenpera
ini mengatur mengenai penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang ditetapkan
sesuai dengan aturan – aturan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan
biaya ditanggung renteng oleh para pihak. Tentunya upaya penyelesaian sengketa
perikatan jual – beli satuan rumah susun melalui arbitrase ini dapat ditempuh,
apabila sebelumnya para pihak telah menempuh terlebih dahulu jalan musyawarah
dan mufakat. Bilamana musyawarah dan mufakat tidak tercapai, maka menurut
Kepmenpera diatas dapat ditempuh dengan arbitrase.
Arbitrase
sebagai suatu upaya alternatif penyelesaian di luar pengadilan yang dipilih dan
disepakati oleh para pihak dalam perjanjian, karena merupakan lembaga yang
bebas dan otonom menentukan aturan sendiri, biasanya waktu prosedur relatif
singkat, diperiksa oleh arbiter yang profesional dan memiliki kerahasiaan (privat)
bagi para pihak yang bersengketa.
Pengertian
tentang arbitrase sangat beragam, antara lain menurut ahli hukum Prof.M.Subekti
adalah penyelesaian suatu perselisihan/perkara oleh seorang atau beberapa orang
wasit (arbiter) yang bersama – sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara
dengan tidak diselesaikan oleh pengadilan. Sedangkan pengertian arbitrase
menurut Pasal 1 ayat 1 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum adalah cara penyelesaian satu perkara
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.
Pada
umumnya terdapat kesamaan pengertian bahwa arbitrase adalah sebuah perjanjian
dimana para pihak yang bersengketa sepakat untuk menyelesaikan sengketa
tersebut oleh orang/pihak ketiga baik seorang atau beberapa orang wasit/arbiter
yang dipilih sendiri oleh para pihak tersebut. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase
menetapkan bahwa para pihak sepakat untuk tidak
menyelesaikan sengketa melalui pengadilan.
Secara
garis besar proses penanganan sengketa perikatan jual – beli satuan rumah susun
melalui arbitrase adalah tidak berbeda/sama dengan proses penanganan sengketa –
sengketa perkara hukum yang lain yang diselesaikan melalui arbitrase, yaitu :
- Adanya sengketa sebagai akibat
dari klaim yang tidak disetujui, dan tidak tercapainya perdamaian melalui
proses perundingan (negosiasi) maupun musyawarah.
- Mengajukan permohonan
penyelesaian sengketa ke arbitrase sesuai dengan klausula arbitrase yang
tercantum dalam perjanjian atau kontrak.
- Kemudian diadakan pembentukan
majelis arbitrase, dan dilanjutkan pada acara persidangan sampai dengan
keluarnya putusan arbitrase.
- Putusan arbitrase harus
dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang kalah dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari sejak putusan dibacakan.
- Dalam hal pihak yang dikalahkan
tidak mau melaksanakan putusan tersebut secara sukarela, maka pihak yang
memenangkan putusan arbitrase dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Negeri yang berwenang, dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat untuk melaksanakan eksekusi.
Pada
faktanya, sering terjadi bahwa pihak yang dikalahkan merasa tidak puas dengan
putusan arbitrase, maka pihak tersebut melakukan upaya hukum lainnya dengan
mengajukan gugatan pembatalan atas putusan arbitrase. Akan tetapi, tentunya
bukan hal yang mudah untuk dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, mengingat
pertimbangan hukum bahwa dasar putusan arbitrase tersebut adalah berasal dari
kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam perjanjian dan disebutkan secara
jelas dan tegas, bahwa apabila terjadi sengketa, maka diselesaikan dengan jalan
musyawarah mufakat dan apabila tidak tercapai dapat menempuh upaya arbitrase.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar