Halaman

Senin, 05 Maret 2012

Proses Penanganan Sengketa Perikatan Jual – Beli Satuan Rumah Susun Melalui Arbitrase


 http://www.hukumproperti.com/wp-content/uploads/2010/04/700-03508178fn-300x240.jpg
Setiap hubungan hukum yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia tidak luput dari suatu permasalahan atau sengketa baik yang dapat dinilai dalam skala kecil atau bahkan skala besar. Hal ini pun terjadi dalam suatu perikatan jual – beli satuan rumah susun. Pada dasarnya suatu perikatan terjadi karena adanya perjanjian dan undang – undang. Khusus perikatan yang terjadi karena perjanjian, harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), yaitu adanya kesepakatan para pihak, kecakapan pihak yang membuatnya, hal tertentu yang diperjanjikan dan sebab – sebab yang halal.
Perikatan jual – beli satuan rumah susun dapat terjadi karena adanya peningkatan permintaan konsumen/calon konsumen untuk membeli rumah susun yang belum selesai dibangun oleh pengembang (developer), sehingga mengharuskan pemerintah untuk mengatur hal tersebut secara khusus dalam Keputusan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual – Beli Satuan Rumah Susun (“Kepmenpera”). Akibat hukum dari berlakunya Kepmenpera ini adalah setiap adanya perikatan jual – beli satuan rumah susun wajib mengikuti pedoman dalam Kepmenpera tersebut. Hal ini sebagaimana tertulis di ketentuan kedua dalam Kepmenpera.
Kepmenpera ini mengatur mengenai penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang ditetapkan sesuai dengan aturan – aturan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan biaya ditanggung renteng oleh para pihak. Tentunya upaya penyelesaian sengketa perikatan jual – beli satuan rumah susun melalui arbitrase ini dapat ditempuh, apabila sebelumnya para pihak telah menempuh terlebih dahulu jalan musyawarah dan mufakat. Bilamana musyawarah dan mufakat tidak tercapai, maka menurut Kepmenpera diatas dapat ditempuh dengan arbitrase.
Arbitrase sebagai suatu upaya alternatif penyelesaian di luar pengadilan yang dipilih dan disepakati oleh para pihak dalam perjanjian, karena merupakan lembaga yang bebas dan otonom menentukan aturan sendiri, biasanya waktu prosedur relatif singkat, diperiksa oleh arbiter yang profesional dan memiliki kerahasiaan (privat) bagi para pihak yang bersengketa.
Pengertian tentang arbitrase sangat beragam, antara lain menurut ahli hukum Prof.M.Subekti adalah penyelesaian suatu perselisihan/perkara oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama – sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan oleh pengadilan. Sedangkan pengertian arbitrase menurut Pasal 1 ayat 1 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum adalah cara penyelesaian satu perkara perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.
Pada umumnya terdapat kesamaan pengertian bahwa arbitrase adalah sebuah perjanjian dimana para pihak yang bersengketa sepakat untuk menyelesaikan sengketa tersebut oleh orang/pihak ketiga baik seorang atau beberapa orang wasit/arbiter yang dipilih sendiri oleh para pihak tersebut. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase menetapkan bahwa para pihak sepakat untuk tidak menyelesaikan sengketa melalui pengadilan.
Secara garis besar proses penanganan sengketa perikatan jual – beli satuan rumah susun melalui arbitrase adalah tidak berbeda/sama dengan proses penanganan sengketa – sengketa perkara hukum yang lain yang diselesaikan melalui arbitrase, yaitu :
  1. Adanya sengketa sebagai akibat dari klaim yang tidak disetujui, dan tidak tercapainya perdamaian melalui proses perundingan (negosiasi) maupun musyawarah.
  2. Mengajukan permohonan penyelesaian sengketa ke arbitrase sesuai dengan klausula arbitrase yang tercantum dalam perjanjian atau kontrak.
  3. Kemudian diadakan pembentukan majelis arbitrase, dan dilanjutkan pada acara persidangan sampai dengan keluarnya putusan arbitrase.
  4. Putusan arbitrase harus dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang kalah dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak putusan dibacakan.
  5. Dalam hal pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan tersebut secara sukarela, maka pihak yang memenangkan putusan arbitrase dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Negeri yang berwenang, dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk melaksanakan eksekusi.
Pada faktanya, sering terjadi bahwa pihak yang dikalahkan merasa tidak puas dengan putusan arbitrase, maka pihak tersebut melakukan upaya hukum lainnya dengan mengajukan gugatan pembatalan atas putusan arbitrase. Akan tetapi, tentunya bukan hal yang mudah untuk dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, mengingat pertimbangan hukum bahwa dasar putusan arbitrase tersebut adalah berasal dari kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam perjanjian dan disebutkan secara jelas dan tegas, bahwa apabila terjadi sengketa, maka diselesaikan dengan jalan musyawarah mufakat dan apabila tidak tercapai dapat menempuh upaya arbitrase.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar